HMI KOMPERTA

Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bangkalan Komisariat Pertanian Universitas Trunojoyo Madura




[AgriTalk Edisi 1] Tantangan Pertanian Kini dan Nanti; Apa Peranmu?

Dok: Komperta (Foto bersama setelah acara)


Data BPS sebut pada 2018 terdapat 7,1 juta hektare luas lahan pertanian di Indonesia. Jumlah itu menurun berdasarkan data Kementerian Pertanian sebesar 8,1 juta hektare pada 2016. Lepas dari pro-kontra keabsahan data tersebut, jutaan hektare luas lahan pertanian Indonesia bukan ukuran yang kecil.

Namun, setiap tahun, impor bahan pangan masih saja tetap dilakukan. Meski di beberapa komoditi, sambil mengimpor, juga mengekspor. Aneh.

Lebih dari itu, permasalahan-permasalahan dibidang pertanian sudah kadung komplek. Diaku atau tidak, permasalahan bukan hanya menyoal kebijakan pemerintah melalui Kementerian Pertanian saja. Faktor cuaca, kondisi sosial-budaya petani, hingga permainan oknum-oknum berkepentingan menjadi hal serius yang harus segera dicari solusinya.

Agri Talk Edisi 1 kali ini menyangking tema "Tantangan Pertanian Kini dan Nanti; Apa Peranmu (Mahasiswa Pertanian)?"

Ikut melingkar bersama kawan-kawan Kader dan anggota muda HMI Komisariat Pertanian,  Kakanda Mojiono, S.TP., M.Si dan Ayunda Dr. Mardiyah Hayati, SP.,MP sebagai narasumber.

Ayunda Ika Yuliatin sebagai moderator membuka acara pukul 16.00 WIB. Suasana taman Kampus Universitas Trunojoyo sore tadi ramai dengan aktivitas mahasiswa, namun peserta Agri Talk masih terlihat antusias.

Kanda Mojiono mendapat giliran pertama untuk menyampaikan materi. Disampaikan olehnya, ada tiga tantangan besar di bidang pertanian yaitu konversi lahan, mekanisasi, dan distribusi.

Menyoal konversi atau penyempitan lahan, Kanda Mojiono menyontohkan sebuah kasus alih fungsi lahan.

"Di sekitar kampus, yang dulu sawah, ditanami padi-jagung, sekarang ditanami bangunan (kost/kontrakan)." terang Kanda Mojiono.

Lebih lanjut, salah satu contoh permasalah adalah pertambahan jumlah penduduk Indonesia, yang juga berpengaruh pada bertambahnya kebutuhan pangan.

"Lebih miris lagi tentang Food Waste," lanjut Kanda Mojiono.

Food Waste atau sampah makanan adalah sisa makanan yang terbuang karena tidak habis dikonsumsi.  Berdasarkan hasil studi dari The Ecobomist Intelligence Unit, pada 2016 lalu Indonesia masuk produsen sampah makanan terbesar kedua di dunia. Sampah makanan terbesar dihasilkan oleh Arab Saudi.

"Kumpul, makan-makan; Acara nikahan, makan-makan; bahkan makan sendiri yang ngambil sendiri pun masih menyebakan sisa makanan," terang Kanda Mojiono.

Menanggapi permasalah tersebut, Ayunda Mardiyah menambahkan, bahkan kebiasaan tidak menghabiskan minuman menandakan kebiasaan buruk tentang pola memperlakukan makanan.

"Saya selalu membawa minuman saya yang belum habis, sampai habis," ucap Ayunda Mardiyah sambil menunjukkan botol air mineral yang masih tersisa.

Ayunda Mardiyah memaparkan, menjadi mahasiswa pertanian adalah kebanggaan. Harus disyukuri, sebab, kesempatan mengambil peran pengabdian untuk kesejahteraan petani terbuka lebar. Inovasi pemikiran millenial dirasa berpengaruh positif terhadap perkembangan di bidang pertanian.

Ayunda Mardiyah memberikan contoh dengan sebuah cerita yang datang dari seorang teman kuliah. Kata dia, ada seorang teman kuliah yang fokus bertani dengan inovasi yang bagus. Salah satunya, menyulap lahan sempit untuk bertani dengan hasil panen selayaknya lahan lebar.

"Mahasiswa harus berani berfikir maju. Harus berinovasi kekinian kalau menjadi petani. Itu keren. Petani millenial." papar Ayunda Mardiyah.

Di sela-sela hangatnya perbincangan, komunikasi dua arah dibangun para narasumber. Satu lemparan pertanyaan diberikan kepada peserta, menanyakan perihal alasan kenapa peserta yang juga mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura, memutuskan mengambil jurusan pertanian.

"Orangtua saya petani, dan saya ingin membantu orangtua saya," jawab Kanda Ghazali.

Jawaban tersebut ditanggapi hangat oleh Ayunda Mardiyah dengan melompat pada kisah tahun '92 lalu, di mana Ayunda Mardiyah juga anak seorang petani. Garis besar kisah dari Ayunda Mardiyah memberikan gambaran bahwa anak petani tidak menutup kemungkinan untuk sukses.

Sebuah uraian tanggapan muncul pula dari Kanda Sulton Hakim. Dia mengatakan, perlu adanya pembenahan di empat titik daur sistem di pertanian.

Pertama, sistem hulu di mana permasalahan pembibitan, lahan, pupuk, dan hal lain yang berkaitan dengan kebutuhan pra-tanam, yang berpengaruh besar terhadap hasil panen, perlu digarap dengan serius.

"Mahasiswa Agro punya peran besar di sini," kata Kanda Sulton Hakim.

Kedua, sistem pasca tanam. Permasalahan yang timbul setelah penanaman menjadi momok mengerikan bagi petani. Gangguan hama, cuaca buruk, hingga sistem tanam yang tidak tepat tidak jarang menimbulkan polemik serius.

Ketiga, sistem di hilir di mana pemanfaatan hasil pertanian petani kita sangat membutuhkan dukungan. Sumberdaya manusia di bidang pengolahan pasca panen masih rendah. Mayoritas petani memilih menjual langsung tanpa mengolah hasil panennya.

Terakhir, sistem distribusi. Panjangnya alur pendistribusian hasil panen ke tempat pengolahan menyebabkan adanya biaya distribusi yang besar. Belum lagi permainan harga dari tengkulak dan oknum-oknum pemanipulasi kelangkaan bahan pangan dengan melakukan penimbunan gudang.
Menanggapi uraian itu, Kanda Mojiono menjelaskan permasalahan mekanisasi pertanian. Menurutnya, teknologi menjadi salah satu alat bantu yang bisa mengatasi masalah tersebut.

"Jika Australia satu orang bisa memegang sepuluh hektare lahan, di Indonesia sepuluh orang mamegang satu hektare." kata Kanda Mojiono, memberikan perumpamaan.

Maksud dari perkataan tersebut, di Australia petani mulai menggunakan teknologi modern. Menggunakan mesin. Sehingga waktu, tenaga, dan biaya pengolahan pertanian bisa ditekan. Penggunaan teknologi pertanian dirasa mampu untuk meningkatkan efektifitas kinerja petani.

Pembahasan berlanjut mengenai peran mahasiswa sebagai konsumen produk pertanian.

Realita paling menyakitkan, mahasiswa banyak yang tidak memilih produk petani lokal. Ayunda Mardiyah memberi contoh buah apel Malang yang kualitasnya dianggap lebih rendah dengan apel impor. Indikator yang dijadikan rujukan adalah harga komoditi apel lokal Malang yang kalah dengan harga buah apel impor.

Salah satu yang mempengaruhi konsumen untuk membeli produk impor adalah life style; bahwa mengonsumsi produk luar negeri adalah suatu kebanggaan.

Memang, diakui bahwa kenampakan fisik dari produk pangan impor sangat menarik. Mindsett konsumen Indonesia tentang ukuran besar dan keindahan kenampakan fisik yang baik menandakan produk berkualitas menjadi tantangan tersendiri.

"Banyak hasil pertanian kita yang kaya akan nutrisi, tapi kalah secara tampilan fisik dengan produk luar." kata Ayunda Mardiyah.

Ayunda Mardiyah mengatakan bahwa produk petani lokal berpotensi memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan produk impor. Dibutuhkan inovasi dan kesungguhan mahasiswa pertanian untuk mengupayakan hal tersebut. Paradigma berfikir mahasiswa pertanian yang mendiskriditkan profesi petani sebagai indikator rendahnya kondisi ekonomi perlu dirombak dengan pembuktian prestasi-prestasi di bidang pertanian. Terutama prestasi yang berpengaruh signifikan terhadap pengangkatan kesejahteraan perekonomian masyarakat Indonesia melalui sektor pertanian.

Terima Kasih!

Kabid PA HMI Komperta
M. Sya'iruddin

Foto Narasumber Kanda Mojiono, S.TP., M.Si.  dan Ayunda Dr. Mardiyah Hayati, SP.,MP.


Keterangan pendukung:

Labels: Kajian, KOMPERTA

Thanks for reading [AgriTalk Edisi 1] Tantangan Pertanian Kini dan Nanti; Apa Peranmu?. Please share...!

0 Komentar untuk "[AgriTalk Edisi 1] Tantangan Pertanian Kini dan Nanti; Apa Peranmu?"

Back To Top