HMI KOMPERTA

Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bangkalan Komisariat Pertanian Universitas Trunojoyo Madura




[Prolog] Modernisasi Pertanian: Ratapan Cangkul dan Sabit




Sarjana Pertanian dan Dilemanya

Petani, sebuah profesi yang diakui kemuliaannya sekaligus mulai dideskriditkan di era indrustri 4.0 ini. Insan akademis di bidang pertanian yang banyak digerojok dana oleh pemerintah untuk memajukan bidang pertanian malah melengos, memilih bekerja di tempat yang lebih realistis dan dapat menjamin kebutuhan hidup.

Namun demikian, kita masih sering melihat berita di media daring tentang aksi ‘memperjuangkan hak petani’. Acara musiman dengan memanfaatkan momentum tersebut tentu tidak salah. Namun, satu pertanyaan yang patut kita ajukan adalah apakah mereka berani menjadi petani.

Ya, mereka memang sedang memperjuangkan, tapi jika diberikan pertanyaan demikian, jawaban mereka hanya alibi yang diolah sedemikian rupa dengan jurus-jurus bungklon yang jika diterjemahkan dalam bahasa intinya begini: “Saya belum siap bernasib buruk dengan gaji pas-pasan atau bahkan kurang.”

Seperti yang sama-sama kita ketahui, kondisi sosial masyarakat telah mengalami perubahan besar seiring perkembangan teknologi. Bayangan tentang konsep ‘Hidup Mapan’ dan ‘terhormat’ telah mengalami spesialisasi makna dengan indikator yang membias, ketidakjelasan: bahwa bekerja yang layak adalah di kantoran, memakai jas dan bertempat di ruangan yang nyaman; bahwa strata profesi petani adalah milik kaum kelas menengah ke bawah, dan; bahwa yang bisa dikatakan terhormat adalah yang ekonominya baik.

Memang, hal ini sangat realistis. Namun, pemahaman inilah yang menjadi momok paling mengerikan bagi Sarjana Pertanian yang berkeinginan mengabdikan diri sebagai petani atau untuk petani. Sebagai bukti, data BPS dalam survei usia petani pada 2013 lalu, petani muda di kelompok usia 25-35 sebanyak 3.129.644 orang dari total jumlah petani sebanyak 26.135.469 orang.

Perkembangan Teknologi Pertanian: Solusi atau Masalah?

Tidak bisa dipungkiri, perkembangan teknologi memaksa semua bidang harus juga berkembang, termasuk dalam bidang pertanian. Namun, agaknya perlu dikaji ulang terkait teknologi yang berkembang tersebut. Terutama, berkaitan dengan apakah teknologi tersebut dapat dijadikan solusi terhadap problem-problem petani atau malah menambah permasalahan.

Beberapa contoh hasil dari perkembangan teknologi pertanian seperti Mesin Tanam Bibit Padi type 4K dengan harga jual Rp 99.900.000, mesin tanam padi merk Yanmar AP 4 yang dijual dengan harga Rp 74.128.000 dan hasil rekayasa genetika tumbuhan dan buah-buahan. Numun, hingga kini, petani masih banyak yang menolak teknologi tersebut. Selain karena kondisi ekonomi, kondisi sosial juga menjadi hal yang mempengaruhinya. Di Indonesia, lebih-lebih di daerah pedasaan, petani dalam mengolah ladang memanfaatkan konsep gotong royong, saling bantu-membantu.

Sama halnya dengan penolakan terhadap mesin pertanian, tumbuhan-tumbuhan hasil rekayasa genetika pun masih banyak dipandang sebelah mata oleh petani. Seperti ‘semangka tanpa biji’, misalnya. Selain harga bibit yang lebih mahal, perawatan yang tidak mudah dan waktu panen yang lebih lama dibanding semangka berbiji membuat buah hasil rekayasa genetika tersebut kurang menarik.

Mengacu pada kondisi lapangan, kecanggihan teknologi nyatanya tidak banyak ikut andil dalam meningkatkan produktifitas hasil pertanian. Bisa dilihat dari data produktifitas hasil pertanian, bahwa yang menjadi faktor naiknya produktifitas bukan teknologi, namun kurangnya serangan hama, kondisi tanah, dan jumlah area tanam yang bertambah.

Bukannya hal tersebut dapat ditangani dengan bantuan teknologi?

Yang menjadi permasalahan bukan bisa atau tidak, namun, apakah solusi tersebut memiliki potensi permasalahan baru. Nah, permasalahan di tingkat bawah, kondisi ekonomi petani tidak seberapa, sehingga, dengan membeli alat-alat pertanian yang canggih, tentu modal yang besar adalah masalah baru bagi petani.

Terima kasih!

Oleh: M. Sya'iruddin
Kabid PA KOMPERTA

Selengkapnya, akan di bahas dalam acara diskusi pada Kamis, 23 Mei 2019 di Kampoeng Kopi pukul 15.00 WIB. Acara diskusi memungut tema : Modernisasi Pertanian: Ratapan Cangkul dan Sabit.
Sebagai pemantik, kami menyiapkan dua pemateri: Kakanda Rifki Arifuddin, ST. dan Ayunda Khadijah.



Labels: Kajian

Thanks for reading [Prolog] Modernisasi Pertanian: Ratapan Cangkul dan Sabit. Please share...!

0 Komentar untuk "[Prolog] Modernisasi Pertanian: Ratapan Cangkul dan Sabit"

Back To Top