HMI KOMPERTA

Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bangkalan Komisariat Pertanian Universitas Trunojoyo Madura




Landasan Perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam


Skema tahapan perkaderan
Ada 4 landasan dalam Perkaderan HMI, yakni landasan Teologis, Ideologis, Sosio-Historis dan Konstitusi.

1. LANDASAN TEOLOGIS
Manusia adalah makhluk yang berketuhanan. Dia adalah makhluk yang menurut alam hakikatnya sendiri, yaitu sejak masa primordialnya selalu mencari dan merindukan Tuhan. Inilah fitrah atau kejadian asal sucinya, dan dorongan alaminya untuk senantiasa merindukan, mencari, dan menemukan Tuhan. Agama menyebutnya sebagai kecenderungan yang hanif (Hanafiyah al-samhah), yaitu “sikap mencari kebenaran secara tulus dan murni, lapang, toleran, tidak sempit dan tidak membelenggu jiwa. Selain itu pula, bahwa fitrah bagi manusia adalah adanya sifat dasar kesucian yang kemudian harus dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci dan baik kepada sesamanya. Sifat dasar kesucian itu disebut dengan hanafiyyah, dan sebagai makhluk yang hanif itu manusia memiliki dorongan kearah kebaikan, kebenaran, dan kesucian.

Pusat dorongan hanafiyyah itu terdapat dalam dirinya yang paling mendalam dan paling murni, yang disebut hati nurani, artinya bersifat nur atau cahaya (luminous). Kesucian manusia merupakan kelanjutan perjanjian primordial antara manusia (ruh) dan Tuhan, yaitu suatu perjanjian atau ikatan janji antara manusia sebelum lahir ke dunia dengan Tuhan, bahwa manusia akan mengakui Tuhan sebagai pelindung dan pemelihara (rabb) satu-satunya baginya.

Oleh sebab itu, ruh manusia dijiwai oleh kesadaran tentang yang Mutlak dan Maha Suci (Transenden, Munazzah), kesadaran tentang kekuatan yang Maha Tinggi yang merupakan asal dan tujuan semua yang ada dan yang berada diatas alam raya. Kesadaran ini merupakan kemampuan intelek (‘Aql), sebuah piranti pada manusia untuk mempersepsi sesuatu yang ada diatas dan diluar dataran jasad ini. Juga atas dasar perjanjian primordial itu pula, manusia diberikan amanah sebagai wakil Tuhan (Khalifah) di muka bumi ini, yang berfungsi untuk mengatur dan mengelola alam raya dengan sebaik-baiknya, disertai dengan peniruan terhadap sifat-sifat Tuhan sebagai Rabb Al-amin.

Untuk menjalankan fungsi kekhalifahan, manusia seringkali memiliki kecenderungan dan godaan untuk mencari “jalan pintas” yang gampang dengan mengabaikan pesan dan mandat dari Tuhan. Sebaliknya, kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup dan keinsyafan akan datangnya masa Pertanggungjawaban mutlak kelak diakhirat, membuat manusia terlindungi dirinya dari ketelanjangan spritual dan moral yang tercela. Itulah pakaian taqwa yang mesti dikenakan manusia setiap saat dan tempat. Taqwa itu sendiri memiliki arti God Consiousness, atau “kesadaran ketuhanan”, dan itulah sebaik-baik proteksi dari noda ruhani.

Sebagai bentuk dasar akan adanya “kesadaran ketuhanan” tersebut, maka manusia harus pula dapat menginternalisasi konsepsi tawhid yang merupakan perwujudan kemerdekaan yang ada padanya. Implikasi logis dari tawhid itu sendiri adalah meneguhkan sikap dan langkahnya sebagai khalifah, dengan cara tidak memperserikatkan-Nya kepada sesuatu apapun juga dengan cara meninggalkan praktek mengangkat sesama manusia sebagai “tuhan-tuhan” (arbab), selain kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Mengangkat sesama manusia sebagai “tuhan-tuhan” ialah menjadikan sesama manusia sebagai sasaran penyembahan, dedikasi, devosi, atau sikap pasrah total. Dengan demikian maka tawhid mengharuskan adanya pembebasan diri dari objek-objek yang membelenggu dan menjerat ruhani. Ini adalah sejajar dan identik dengan semangat dan makna dari bagian pertama kalimat persaksian, “Aku bersaksi bahwasanya tiada suatu tuhan (ilah)...” yakni, aku menyatakan diri bebas dari kukungan kepercayaan-kepercayaan palsu yang membelenggu dan menjeret ruhaniku. Kemudian
untuk menyempurnakannya, maka pernyataan kedua diteruskan sebagai proses pembebasan “...kecuali Allah, (Al-Ilah,Al-Lah, yakni Tuhan yang sebenarnya, yang dipahami dalam kerangka semangat ajaran ketuhanan yang maha esa atau tauhid uluhiyya, monoteisme murni-strict monotheisme)

Maka dari itu, tawhid bukan hanya melahirkan taqwa, melainkan inspirasi dan peneguhan fungsi dasar manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dan sebagai akhir dari pada fungsi manusia tersebut, maka di hari akhirat kelak manusia akan di mintai pertanggungjawaban secara pribadi, yaitu pertanggungjawaban atas setiap pilihan yang ditentukannya secara pribadi di dunia. Sehingga tidak ada pembelaan berdasarkan hubungan solidaritas, perkawinan, kawan-karib maupun sanak-saudara. Manusia disebut berharkat dan bermartabat tiada lain merupakan konsekuensi dari adanya hak dasar manusia untuk memilih dan menentukan sendiri prilaku moral dan etisnya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa manusia harus senantiasa memberi makna atas hidup di dunia ini melampaui tujuan-tujuan duniawi (terrestrial), menembus tujuan-tujuan hidup ukhrawi (celestial).


2. LANDASAN IDEOLOGIS
Islam sebagai landasan nilai transformatif yang secara sadar dipilih untuk memenuhi kebutuhan dan menjawab persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Islam mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan dan idealisme yang dicita-citakan. Untuk tujuan dan idealisme tersebut maka umat Islam akan ikhlas berjuang dan berkorban demi keyakinannya. Ideologi Islam senantiasa mengilhami, memimpin, mengorganisir perjuangan, perlawanan, dan pengorbanan yang luar biasa untuk melawan semua status quo, belenggu dan penindasan terhadap umat manusia.

Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad telah memperkenalkan Islam sebagai ideologi perjuangan dan mengubahnya menjadi keyakinan yang tinggi, serta memimpin rakyat melawan kaum penindas. Nabi Muhammad lahir dan muncul dari tengah masyarakat kebanyakan yang oleh Al-Qur’an dijuluki sebagai “ummi”. Kata “ummi” yang disifatkan kepada Nabi Muhammad menurut Ali Syari’ati dalam karyanya Ideologi Kaum Intelektual, berarti bahwa beliau berasal dari kelas rakyat. Kelas ini terdiri atas orang-orang awam yang buta huruf, para budak, anak yatim, janda dan orang-orang miskin (mustadh’afin) yang menderita, dan bukan berasal dari kalangan borjuis dan elite penguasa. Dari kalangan inilah Muhammad memulai dakwahnya untuk mewujudkan cita-cita Islam.

Cita-cita Islam adalah adanya transformasi terhadap ajaran dasar Islam tentang persaudaraan universal (Universal Brotherhood), kesetaraan (Equality), keadilan sosial (Social Justice), dan keadilan ekonomi (Economical Justice). Ini adalah cita-cita yang memiliki aspek liberatif sehingga dalam usaha untuk mewujudkannya tentu membutuhkan keyakinan, tanggung jawab, keterlibatan dan komitmen. Hal ini disebabkan sebuah ideologi menuntut penganutnya bersikap setia (committed).

Dalam usaha untuk mewujudkan cita-cita Islam, pertama, persaudaraan universal dan kesetaraan (equality), Islam telah menekankan kesatuan manusia (unity of mankind) yang ditegaskan dalam Al Quran Surat Al-Hujurat:13. Demikian diartikan:

“Hai manusia ! kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan. Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling ber-taqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui."

Ayat ini secara jelas membantah semua konsep superioritas rasial, kesukuan, kebangsaan atau keluarga, dengan satu penegasan dan seruan akan pentingnya keshalehan, baik keshalehan ritual maupun keshalehan sosial, sebagaimana Al-Qur’an menyatakan:

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu berdiri karena Allah, menjadi saksi dengan keadilan. Janganlah karena kebencianmu kepada suatu kaum, sehingga kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada taqwa dan takutlah kepada Allah…” (QS. Al-Maidah: 8).

Kedua, Islam sangat menekankan kepada keadilan di semua aspek kehidupan. Dan keadilan tersebut tidak akan tercipta tanpa membebaskan masyarakat lemah dan marjinal dari penderitaan, serta memberi kesempatan kepada kaum mustadh’afin untuk menjadi pemimpin. Menurut Al-Qur’an, mereka adalah permimpin dan pewaris dunia.

"Kami hendak memberikan karunia kepada orang-orang tertindas di muka burni. Kami akan menjadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi” (QS. Al-Qashash: 5)

“Dan kami wariskan kepada kaum yang tertindas seluruh timur bumi dan baratnya yang kami berkati. “ (QS. Al-A’raf: 37).

Di tengah-tengah suatu bangsa ketika orang-orang kaya hidup mewah di atas penderitaan orang miskin, ketika budak-budak merintih dalam belenggu tuannya, ketika para penguasa membunuh rakyat yang tak berdaya hanya untuk kesenangan, ketika para hakim mernihak kepada pemilik kekayaan dan penguasa, ketika orang-orang kecil yang tidak berdosa dimasukkan ke penjara maka Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan rabbulmustadh’afin:

“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang yang tertindas, baik laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berdo’a, Tuhan kami ! Keluarkanlah kami dari negeri yang penduduknya berbuat zalim, dan berilah kami perlindungan dan pertolongan dari sisi Engkau.” (QS. An-Nisa: 75).

Dalam ayat ini menurut Asghar Ali Engineer dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan, Al-Qur’an mengungkapkan teori kekerasan yang membebaskan yaitu:

“Perangilah mereka itu hingga tidak ada fitnah.” (Q.S. Al-Anfal: 39)

Al-Qur’an dengan tegas mengutuk Zulm (penindasan). Allah tidak menyukai kata-kata yang kasar kecuali oleh orang yang tertindas.

“Allah tidak menyukai perkataan yang kasar/jahat (memaki), kecuali bagi orang yang teraniaya….” (QS. An-Nisa: 148).

Ketika Al-Qur’an sangat menekankan keadilan ekonomi berarti Al-Qur’an seratus persen menentang penumpukan dan penimbunan harta kekayaan. Al-Qur’an sejauh mungkin menganjurkan agar orang-orang kaya hartanya untuk anak yatim, janda-janda dan fakir miskin.

“Adakah engkau ketahui orang yang mendustakan agama? Mereka itu adalah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menyuruh memberi makan orang miskin. Maka celakalah bagi orang yang shalat, yang mereka itu lalai dari sholatnya, dan mereka itu riya, enggan memberikan zakatnya. “ (QS. AI-Maun: 1-7).

Al-Qur’an tidak menginginkan harta kekayaan itu hanya berputar di antara orang-orang kaya saja.

“Apa-apa (harta rampasan) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk negeri (orang-orang kafir), maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, untuk karib kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang yang berjalan, supaya jangan harta itu beredar antara orang-orang kaya saja diantara kamu … “ (QS. Al Hasyr: 7).

Al-Qur’an juga memperingatkan manusia agar tidak suka menghitung-hitung harta kekayaannya, karena hartanya tidak akan memberikan kehidupan yang kekal. Orang yang suka menumpuk-numpuk dan menghitung-hitung harta benar-benar akan dilemparkan ke dalam bencana yang mengerikan, yakni api neraka yang menyala-nyala:

”...” (QS. Al-Humazah:1-9).

Kemudian juga pada Surat At-Taubah: 34, menyatakan:

”...” (QS. At-Taubah: 34)

Al-Qur’an memberikan beberapa peringatan keras kepada mereka yang suka menimbun harta dan mendapatkan hartanya dari hasil eksploitasi (riba) dan tidak membelanjakannya di jalan Allah.

Pada masa Rasulullah SAW banyak sekali orang yang terjerat dalam perangkap hutang karena praktek riba. Al-Qur’an dengan tegas melarang riba dan memperingatkan siapa saja yang melakukannya akan diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya (Iihat, QS. Al-Baqarah: 275-279 dan Ar-Rum: 39).

Demikianlah Allah dan Rasul-Nya telah mewajibkan untuk melakukan perjuangan membela kaum yang tertindas dan mereka (Allah dan Rasul-Nya) telah memposisikan diri sebagai pembela para mustadh’afin.

Dalam keseluruhan proses aktifitas manusia di dunia ini, Islam selalu mendorong manusia untuk terus memperjuangkan harkat kemanusiaan, menghapuskan kejahatan, melawan penindasan dan ekploitasi. AI-Qur’an memberikan penegasan.

”Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi manusia supaya kamu menyuruh berbuat kebajikan (ma’ruf) dan melarang berbuat kejahatan (mungkar) serta beriman kepada Allah (QS. Ali-Imran: 110).

Dalam rangka memperjuangkan kebenaran ini, manusia memiliki kebebasan dalam mengartikulasikan Islam sesuai dengan konteks lingkungannya agar tidak terjebak
pada hal-hal yang bersifat mekanis dan dogmatis. Menjalankan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah berarti menggali makna dan menangkap semangatnya dalam rangka menyelesaikan persoalan kehidupan yang serba kompleks sesuai dengan kemampuannya.

Demikianlah cita-cita Islam yang senantiasa harus selalu diperjuangkan dan ditegakkan, sehingga dapat mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang adil, demokratis, egaliter dan berperadaban. Dalam memperjuangkan cita-cita tersebut manusia dituntut untuk selalu setia (commited) terhadap ajaran Islam seraya memohon petunjuk Allah SWT, ikhlas, rela berkorban sepanjang hidupnya dan senantiasa terlibat dalam setiap pembebasan kaum tertindas (mustadh'afin).

"Sesungguhnya sholatku, perjuanganku, hidup dan matiku, semata-mata hanya untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak ada serikat bagi-Nya dan aku diperintah untuk itu, serta aku termasuk orang yang pertama berserah diri. " (QS. AI-An'am:162-163).

3. LANDASAN SOSIO-HISTORIS
Islam yang masuk di kepulauan Nusantara telah berhasil merubah kultur masyarakat terutama di daerah sentral ekonomi dan politik menjadi kultur Islam. Keberhasilan Islam yang secara dramatik telah berhasil menguasai hampir seluruh kepulauan nusantara. Tentunya hal tersebut dikarenakan agama Islam memiliki nilai-nilai universal yang tidak mengenal batas-batas sosio-kultural, geografis dan etnis manusia. Sifat Islam ini termanifestasikan dalam cara penyebaran Islam oleh para pedagang dan para wali dengan pendekatan sosio-kultural yang bersifat persuasif.

Masuknya Islam secara damai berhasil mendamaikan kultur Islam dengan kultur masyarakat nusantara. Dalam proses sejarahnya, budaya sinkretisme penduduk pribumi ataupun masyarakat, ekonomi dan politik yang didominasi oleh kultur tradisional, feodalisme, hinduisme dan budhaisme mampu dijinakkan dengan pendekatan Islam kultural ini. Pada perkembangan selanjutnya, Islam tumbuh seiring dengan karakter keindonesiaan dan secara tidak langsung telah mempengaruhi kultur Indonesia yang dari waktu ke waktu semakin modern.

Karena mayoritas bangsa Indonesia adalah beragama Islam, maka kultur Islam telah menjadi realitas sekaligus memperoleh legitimasi social dari bangsa Indonesia yang pluralistik. Dengan demikian wacana kebangsaan di seluruh aspek kehidupan ekonomi, politik, dan sosial budaya Indonesia meniscayakan transformasi total nilai-nilai universal Islam menuju cita-cita mewujudkan peradaban Islam.

Secara sosiologis dan historis, kelahiran HMI pada tanggal 5 Februari 1947 tidak terlepas dari permasalahan bangsa yang di dalamnya mencakup umat Islam sebagai satu kesatuan dinamis dari bangsa Indonesia yang sedang mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamirkan.

Kenyataan itu merupakan motivasi kelahiran HMI sekaligus dituangkan dalam rumusan tujuan berdirinya, yaitu: pertama, mempertahankan negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, menegakkan dan mengembangkan syiar ajaran Islam. Ini menunjukkan bahwa HMI bertanggung jawab terhadap permasalahan bangsa dan negara Indonesia serta bertekad mewujudkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan manusia secara total.

Makna rumusan tujuan itu akhirnya membentuk wawasan dan langkah perjuangan HMI ke depan yang terintegrasi dalam dua aspek keislaman dan aspek kebangsaan. Aspek keislaman tercermin melalui komitmen HMI untuk selalu mewujudkan nilai-nilai ajaran Islam secara utuh dalam kehidupan berbangsa sebagai pertanggungjawaban peran kekhalifahan manusia, sedangkan aspek kebangsaan adalah komitmen HMI untuk senantiasa bersama-sama seluruh rakyat Indonesia merealisasikan cita-cita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia demi terwujudnya cita-cita masyarakat yang demokratis, berkeadilan sosial dan berkeadaban. Dalam sejarah perjalanan HMI, pelaksanaan komitmen keislaman dan kebangsaan merupakan garis perjuangan dan misi HMI yang pada akhirnya akan membentuk kepribadian HMI dalam totalitas perjuangan bangsa Indonesia ke depan.

Melihat komitmen HMI dalam wawasan sosiologis dan historis berdirinya pada tahun 1947 tersebut, yang juga telah dibuktikan dalam sejarah perkembangnnya, maka pada hakikatnya segala bentuk pembinaan kader HMI harus pula tetap diarahkan dalam rangka pembentukan pribadi kader yang sadar akan keberadaannya sebagai pribadi muslim, khalifah di muka bumi dan pada saat yang sama kader tersebut harus menyadari pula keberadannya sebagai kader bangsa Indonesia yang bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita bangsa ke depan.

4. LANDASAN KONSTITUSI
Dalam rangka mewujudkan cita-cita perjuangan HMI di masa depan, HMI harus mempertegas posisinya dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara demi melaksanakan tanggungjawabnya bersama seluruh rakyat Indonesia dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah SWT. Dalam pasal tiga (3) tentang azas ditegaskan bahwa HMI adalah organisasi berazaskan Islam dan bersumber kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Penegasan pasal ini memberikan cerminan bahwa di dalam dinamikanya, HMI senantiasa mengemban tugas dan tanggung jawab dengan semangat keislaman yang tidak mengesampingkan semangat kebangsaan.

Dalam dinamika tersebut, HMI sebagai organisasi kepemudaan menegaskan sifatnya sebagai organisasi mahasiswa yang independen (Pasal 6 AD HMI), berstatus sebagai organisasi mahasiswa (Pasal 7 AD HMI), memiliki fungsi sebagai organisasi kader (Pasal 8 AD HMI) serta berperan sebagai organisasi perjuangan (Pasal 9 AD HMI).

Dalam rangka melaksanakan fungsi dan peranannya secara berkelanjutan yang berorientasi futuristik maka HMI menetapkan tujuannya dalam pasal empat (4) AD HMI, yaitu terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam serta bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT. Kualitas kader yang akan dibentuk ini kemudian dirumuskan dalam tafsir tujuan HMI. Oleh karena itu, tugas pokok HMI adalah perkaderan yang diarahkan kepada perwujudan kualitas insan cita yakni dalam pribadi yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan kerja-kerja kemanusiaan sebagai amal saleh.

Pembentukan kualitas dimaksud diaktualisasikan dalam fase-fase perkaderan HMI, yakni fase rekruitmen kader yang berkualitas, fase pembentukan kader agar memiliki kualitas pribadi Muslim, kualitas intelektual serta mampu melaksanakan kerja-kerja kemanusiaan secara profesional dalam segala segi kehidupan, dan fase pengabdian kader, dimana sebagai output maka kader HMI harus mampu berkiprah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan berjuang bersama-sama dalam mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.
Labels: Kajian

Thanks for reading Landasan Perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam. Please share...!

0 Komentar untuk "Landasan Perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam"

Back To Top